FESTIVAL SASTRA LONTAR – HARI 4, 14 NOVEMBER 2020
Diskusi / Discussion
Yang Politik, Yang Estetik / Between Politics and Aesthetics
Pembicara / Speakers: Okky Madasari, Putu Oka Sukanta, Felix K. Nesi
Moderator: Ronny Agustinus
Sabtu / Saturday, 14November 2020, 10:30-11:30 WIB / WIT
Tegangan antara yang politik dan yang estetik adalah tegangan abadi dalam kesenian. Dalam sastra Indonesia muncul lewat pengusung falsafah “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”. Sebenarnya, bagaimana para pengarang kita menghidupkan kedua unsur ini dalam karya mereka? Apakah mereka masih merasa penting membawa “misi politik” dalam menulis atau sepenuhnya mencapai mutu karya sastra? Apakah sastra Indonesia hari ini sudah cukup adil memperlakukan mereka yang pernah mengalami pelbagai diskriminasi?
In the literary world, politics and aesthetics have been at odds since time immemorial. In Indonesia, more specifically, there has been the “art for art’s-sake” school of thought and “art for the people.” In recent work by Indonesian authors have we seen a merger of these two principles at work? Do authors feel pressured to infuse “politics” in their work or do they write to simply to fulfill their literary objectives?
Diskusi / Discussion
Menulis dari Tepi / Writing from the Edge
Pembicara / Speakers: Nuril Basri, Rio Johan, Cok Sawitri
Moderator: Mumu Aloha
Sabtu / Saturday, 14 November 2020, 11:30-12:30 WIB / WITCukup banyak tema LGBT dalam sastra Indonesia kontemporer. Namun, ini bukanlah gejala baru. Serat Centhinipada abad ke-19 menyajikan tema ini dengan sangat berani, bersisian dengan masalah tasawuf dan kebatinan Jawa.Apa sebenarnya perbedaan signifikan di antara keduanya? Bagaimana mereka menghadapi tantangan dari lingkungan sekitar? Apa siasat mereka agar tulisan mereka tetap bisa bernilai sastra, bukan sekadar propaganda politik identitas belaka? Bagaimana tradisi penulisan sastra queer di Indonesia sebenarnya?
Indonesia’s written work contains characters with divergent sexualities. This phenomenon is not something new—ancient texts from a range of cultures of Indonesia feature such characters as well—but the challenges and, sometimes, the real danger of writing about what is not considered to be normal by certain segments of the populace are heightened today. Does this put a damper on creativity? How do writers with “edgy” material get their material published? Are they censored? How do they deal with this issue?
Pemutaran Film dan Obrolan Santai / Film Screenings & Discussion
Mengenang yang Lama, Memajang yang Muda / Predecessors and Successors
Pemandu / Moderator: Ninus D. Andarnuswari
Bintang Tamu / Discussant: Triyanto Triwikromo
Film OTR / On the Record Film: Sosok Pengarang Wanita dan Dunianya / A Woman Writer and her World(Nh. Dini) karya / directed by Edi Mandala
Film Pendek / Short Films: Hanna Fransisca, Joned Suryatmoko
Sabtu / Saturday, 14November 2020, 14:30-15:30 WIB / WIT
Nh. Dini memulai penulisan fiksi yang mengungkap dengan berani dunia batin perempuan modern. Cenderung autobiografis, dengan bahasa yang menyentuh. Iamenjadi tonggak kekuatan penulis perempuan dalam khazanah sastra Indonesia modern dan menjadi landasan bagi para penulis perempuan berikutnya. Joned Suryatmoko berikhtiar menyiasati ruang pertunjukan teater yang terbatas dan beroleh bentuk pemanggungan baru. Hanna Fransisca adalah penyair dan penulis fiksi dengan latar budaya Cina Peranakan di Kalimantan Barat.
Nurhayati Srihardini Siti Nukatin(1936–2018), who is better known by her penname, Nh. Dini set a milestone in Indonesian literature by writing fiction about modern women who are courageous and determined. Her many books became an inspiration for future women writers in Indonesia. Joned Suryatmoko, a playwright, talks about going beyond the limits of theater to create a new kind of drama while Hanna Fransisca speaks of growing up Chinese in West Kalimantan.
Diskusi / Discussion
Mengenang dan Membangkit Sastra Lisan / Giving Orality its Due Respect
Pembicara / Speakers: Elisabeth D. Inandiak, Pudentia MPSS, Suryadi
Moderator: Faisal Oddang
Sabtu / Saturday, 14 November 2020, 15:30-16:30 WIB / WIT
Sejumlah karya sastra lisan atau sastra klasik dari kawasan Nusantara bisa kita nikmati berkat transliterasi dan penerjemahan. Keberadaan karya-karya itu menjadi penting karena ikut mendukung kebertahanan bahasa daerah tempat kelahiran mereka. Tidak jarang penelitian bahasa, sastra dan budaya mengacu kepada teks-teks sastra tersebut. Problemnya, minat terhadap khazanah ini menyurut, salah satu sebabnya karena dianggap kurang menarik dan identik dengan masa silam. Bagaimana sebenarnya potensi sastra yang satu ini?
Indonesia is a country of hundreds of languages and an almost equal number of oral literary traditions. While on the positive side the ever-increasing usage of Indonesian as the national language serves to unite the nation, the adverse effect is the exponential loss of oral literary traditions which serve to strengthen local communities. What is being done to preserve oral literary traditions? What works from the oral sphere demand preservation, transliteration, and translation? In a country as large as Indonesia, with its thousands of oral traditions from Aceh to Merauke, is the government doing enough to ensure their continued life?
Diskusi / Discussion
Bunga Rampai dari Taman Sastra / Collection = Canonization?
Pembicara / Speakers: Dorothea Rosa Herliany, Deborah Cole,Martin Suryajaya
Moderator:Mona Sylviana
Sabtu / Saturday, 14November 2020, 16:30-17:30 WIB / WIT
Dalam Indonesia dan Inggris / In English & Indonesian
Sebuah bunga rampai penting untuk melihat panorama sastra dari kawasan atau masa tertentu. Yayasan Lontar telah menerbitkan tiga bunga rampai: Antologi Drama Indonesia, Antologi Cerpen Indonesia dan Antologi Puisi Indonesia, yang juga terbit dalam bahasa Inggris. Apakah pertimbangan sebuah bunga rampai semata-mata mutu sastra atau menimbang aspek lain di luar sastra? Apakah ini bukan bagian dari kanonisasi? Bagaimana dengan bunga rampai yang pernah terbit sebelumnya, atau yang terbit di negara lain?
Much in the way that the Norton Anthology of English Literature has helped to keep alive numerous English-language literary classics, three major anthologies published by Lontar on the subjects of drama, poetry, and short stories are intended to ensure the longevity of the works found therein. What is the importance of “anthologies” and should anthologies be considered a form of canonization of the authors whose work is included? On a different note, why do so few publishers want to publish historical anthologies?