Kawan Moer,

Di seruas jalan perdesaan di Slavetin, Republik Ceko—saat hendak mengunjungi desa kelahiran penyair Konstantin Biebl bersama beberapa mahasiswa dan dosen Studi Indonesia Universitas Charles, Praha, musim gugur 2017—aku pernah terharu oleh sebuah pemandangan.

Jujur saja, ini adalah keharuan seorang warga Dunia Ketiga, saat menyaksikan padang rumput luas yang kosong dengan awan-awan cumulus kelabu di atasnya yang melar seperti ditarik sejumlah kuda. Di tengah hamparan awan itu ada semacam gerowong yang membuat sinar matahari terkurung dan teramat menyilaukan—tetapi suhu udara tetap dingin. Seekor anjing hitam melintas dan aku segera memotretnya. Beginilah hasilnya:

Aku yang hanya kadang-kadang menulis puisi, hanya bisa terharu oleh pemandangan itu dan mengabadikannya dengan kamera ponsel pintar—lain tidak. Mengabadikannya dalam puisi, sungguh aku tidak berani. Tepatnya, aku takut merusakkan tamasya visual itu dengan bangunan kata-kataku yang mungkin tidak sepenuhnya tepat. Jadi, kubiarkan saja ia menjadi serentetan sihir rupa.

Tetapi, sejatinya, keharuan adalah modal utama dalam penulisan puisi. Di Indonesia, terutama.

Kau bisa membuka halaman berapa saja buku puisi penyair Indonesia dan akan kautemukan keharuan di sana. Dari yang tipis-tipis saja hingga yang berlarat-larat. Harus kukatakan: penyair kita gampang terharu. Melihat hujan tipis menimpa dedaunan—terharu. Melihat kebiruan laut atau gunung di kejauhan, pemandangan alam secara keseluruhan—terharu. Melihat perempuan cantik—jika si penyair laki-laki—ya terharu juga.

Dan yang lebih penting lagi, keharuan itu kemudian diawetkan dalam puisi, atau menjadi tenaga pendorong utama dalam puisi. Itulah, mungkin, yang oleh Asrul Sani dahulu disebut sebagai “puisi emosi-semata”. Ia mengecam puisi emosi-semata, tetapi juga tidak bisa keluar sepenuhnya dari terungkunya.

Namun, apa yang kusebut keharuan di situ sebenarnya semata-mata keharuan visual, hasil persepsi indra pelihatan. Mata kita menangkap pemandangan yang menarik perhatian dan batin kita kemudian mengolahnya sedemikian rupa sehingga kita merasakan jiwa kita gembira, ekstase atau yang sejenisnya. Apakah kita juga mempersepsi pemandangan itu dengan indra kita yang lain, misalnya pendengaran, perabaan, penghiduan, pengecapan?

Dalam puisi Indonesia, sekali lagi, kita akan menemukan lebih banyak pameran imajinasi visual, ketimbang imaji auditif dan imaji taktil. Konon, untuk sampai kepada kualitas puisi yang indrawi (sensuous), sudah semestinya kita juga mendayagunakan indra-indra kita yang lain itu. Dalam prosa realis pelukisan dengan mengandalkan indra pengecapan dan penghidupan akan menghasilkan kualitas realisme yang lebih kaya, ketimbang hanya mengandalkan indra pelihatan atau pendengaran.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti terharu—atau tepatnya: kelewat banyak terharu—dan mulai memikirkan bagaiman puisi itu direproduksi tanpa harus mengandalkan sepenuhnya keharuan. Atau, jika memang masih harus terharu, sebaiknya perkayalah ungkapan keharuan itu dengan persepsi pengindraan yang lain-lain lagi. Pasti kita akan beroleh keharuan yang lain.

Jika semua keharuan itu sudah dianggap tidak menarik atau tidak memadai lagi untuk penulisan puisi, mungkin sudah waktu kita melangkah kepada apa yang disebut “intelektualisme”. Intelektualisme sebenarnya—jika harus dibikin gampang—adalah pendayagunaan pikiran kita dalam merumuskan puisi sehingga ia akan sampai kepada perenungan intelektual dan hasilnya bisa bermacam-macam. Subagio Sastrowardoyo pernah mencobanya. Para penyair Polandia modern sudah lebih dulu lagi. “Antipuisi” adalah hasil yang sedap juga.

Dengan semua ini sebenarnya aku hendak melihat kemungkinan lain dari puisi Indonesia modern yang usianya baru seratus tahun. Puisi kita masih punya banyak peluang untuk berkembang toh! Apakah aku mencobanya dalam puisi-puisiku—mungkin kau akan tanyakan itu kepadaku—ya, bisa jadi. Soal hasilnya, saya serahkan kepada sidang pembaca.

Zen Hae
(zenhae@lontar.org)