Serem

Saudara Anu,

Untuk memahami bagaimana siasat terhadap realisme berlangsung dalam prosa Indonesia, ada baiknya kita membaca lagi karya-karya Rijono Pratikto—sebelum kita sampai pada yang canggih-canggih.

Mungkin hari ini banyak dari kita yang tidak mengenal Rijono Pratikto. Tetapi, pada 1950-an ia sempat memberi sesuatu kepada sastra Indonesia dan itu layak diperbicangkan lagi hari ini. Dalam bentang realisme, Rijono hadir dengan cerita-cerita dari dunia takhayul, tentang hantu dan arwah yang menerobos kehidupan nyata.

Karya Rijono yang kumaksud di sini adalah Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1958).

H.B. Jassin menyebut Rijono sebagai “pengarang cerita serem”. Asrul, dengan sedikit lebih bergaya, menyebutnya “telah menyorotkan sinar lenteranya pada benda-benda yang masih murni.” Sementara A. Teeuw menyebut karya-karyanya sebagai pengecualian yang menarik karena “membangkitkan kemisteriusan dengan cara yang modern”.

Bahwa sebelum ini kita sudah mengenal takhayul, itu sudah pasti. Di setiap daerah kita bisa dengan mudah menemukan cerita hantu atau cerita horor dalam berbagai bentuk dan modelnya. Bahkan, apa yang kemudian dikenal sebagai “legenda urban”. Tetapi, Rijono menuliskannya dengan mengambil bentuk sastra. Ia memperkenalkan takhayul sebagai bagian dari permainan imajinasi pengarang.

Dalam hal ini, dunia hantu atau makhluk gaib—atau fantasi, dunia mimpi, dunia batin manusia yang terbelah—adalah juga sumber karangan yang sama pentingnya dengan dunia nyata manusia.

Begitulah, ketika dunia fiksi Indonesia masa 1950-an penuh dengan asap mesiu dan bau darah, Rijono datang dengan asap dupa dan kemenyan. Memang, ada pula upaya untuk menegaskan warna lain dari cerita-cerita yang kebanyakan berkonsentrasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, yakni kisah-kisah dari kampung halaman, sebagaimana dikerjakan oleh Yusakh Ananda atau Soewardi Idris.

Namun, Rijono hadir dengan kisah yang sama sekali lain. Bahwa ia juga menulis cerita tentang korban perang, itu tidak menjadi perhatianku kali ini. Yang menarik adalah dia memberi siasat pada realisme yang sudah menjadi jamak dengan cerita-cerita dari dunia gaib. Sebuah dunia yang saat itu belum ditinggalkan oleh khalayak ramai, tetapi tidak menjadi perhatian para pengarang modern kita, karena revolusi dan sekitarnya kelihatan jauh lebih menarik.

Bagiku, cerita serem adalah perkara bermain-main dengan imajinasi manusia yang sudah kelewat datar dan banal digempur oleh berbagai soal sehari-hari. Ia semacam tamasya literer. Soalnya bukan agar pembaca kembali kepada takhayul atau kepercayaan animisme, tetapi lebih kepada permainan imajinasi yang mengasyikkan. Jika humor bisa membuat kita tertawa, maka horor membuat bulu kuduk kita berdiri dan kita mendapat sensasi yang mengasyikkan.Di sini kita berbicara tentang siasat. Seorang pengarang mestilah punya upaya gigih agar karyanya mendapat tempat yang cukup terhormat dalam khazanah kesusastraan tempatnya tumbuh. Jika tidak, ia hanya akan menambah pekat polusi kesemenjanaan. Untuk itu, Rijono mengambil karya-karya Edgar Allan Poe sebagai model, dengan bahan lokal yang ia temukan di banyak tempat di Jawa. Akan tetapi, di kemudian hari ia memberi inspirasi kepada Abdullah Harahap dan lain-lainnya. Selanjutnya, Abdullah Harahap memantik kepenulisan Eka Kurniawan, Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad dalam tema sejenis.

Apakah diperlukan “anasir moral” sebagaimana yang dituntut Jassin? Ah, kukira tidak perlu. Jika dituruti, sastra Indonesia akan semakin keberatan beban—sebagaimana hari ini. Inginnya selalu mengajari atau mengembalikan orang ke jalan lurus. Yang begitu-begitu biarlah menjadi tugas juru dakwah.

Zen Hae (zenhae@lontar.org)