Saudara Anu,

Apakah masa kecil Saudara bahagia? Jika iya, apa yang membuat Saudara bahagia? Jika tidak, kalau boleh tahu, apa sebabnya? Apa pun jawaban Saudara nanti, saya ingin bersangka baik bahwa ketika kecil Saudara termasuk anak yang bahagia. Salah satu sebabnya adalah anda mendengarkan dongeng atau pembacaan cerita dari orang tua Saudara menjelang tidur, dan sesudah itu anda bisa tidur lebih nyenyak.

Jika ada kebahagiaan karena sebab lain, simpanlah itu jadi kenangan Saudara saja. Yang mau saya bicarakan dengan Saudara saat ini adalah kebahagiaan karena mendengarkan dongeng atau cerita anak.

Saat masih kecil, saya menikmati dongeng dan cerita lisan lainnya. Menjelang tidur, misalnya, saya menikmati nyanyian atau dongeng dari ibu saya—setelah seharian bersekolah, mengaji, bermain.

Begitulah, karena tidak ada buku cerita, ibu saya—semoga Tuhan memberinya tempat terbaik di surga—mendongeng dan menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur. Salah satu dongeng yang masih saya ingat hingga tua bangka macam sekarang ini adalah dongeng tentang asal-muasal Kali Angke. Kata ibu saya, sungai yang berliku-liku terjadi karena pada zaman dahulu itu adalah jalan pulang seekor naga. Adapun nyanyian-nyanyian pengantar tidur itu adalah “Indung-indung” dan “Mpok-mpok Kidang”, dalam bahasa campuran Indonesia-Betawi.

Ayah saya, sedikit berbeda. Ia bercerita di kala senggang, tentang hal-hal ajaib. Misalnya, tentang kakek saya yang memelihara harimau siluman dan membuat nenek saya ketakutan setengah mati. Ia juga punya cerita pertualangan yang seru. Pada suatu malam, ia mendapati sebuah keranda, melintang begitu saja di tengah jalan. Keranda itu menunggu reaksinya beberapa saat sebelum akhirnya melesat di kegelapan malam. Atau heroisme kecil-kecilan: ia mengalahkan seorang jagoan pasar yang mencoba mengusiknya saat ia sedang berdagang.

Cerita-cerita seperti itu mungkin hanya cocok untuk anak-anak seperti saya, yang masih sempat menikmati kampung-kampung pinggiran Jakarta dalam keasrian yang tetap terkenang hingga kini. Anak-anak hari ini, tinggal di kampung yang telah berubah sedemikian rupa. Malam menjadi kelewat terang benderang. Alam sekitar makin kehilangan aura dan misterinya bersamaan dengan hilangnya pepohonan besar, persawahan, kebun-kebun. Pertualangan di luar rumah, apa lagi di malam hari, sudah tidak diperlukan lagi, tidak menarik lagi, sebab ada televisi dan gawai.

Untungnya, ada pertualangan di dalam rumah kami yang teramat penting dan tidak bisa dilupakan: buku cerita dan permainan. Itulah sumber pertualangan anak-anak saya menjelang tidur—selain godaan game dan film-film kartun di YouTube.

Pertualangan mereka, jika mau disebut secara sok-sokan, adalah pertualangan sastrawi—satu pertualangan yang dulu saya dapatkan juga serba-sedikit di bangku SD. Saya membacakan mereka cerita dari buku-buku yang saya dapatkan dari pedagang buku loak—dalam bahasa Indonesia dan Inggris—di sejumlah tempat di Jakarta. Biasanya jika sudah kelar satu-dua buku, barulah anak-anak saya itu mau tidur.

Salah satu buku cerita anak yang sangat disukai anak-anak saya adalah Si Buncir gubahan Rusman Sutiasumarga dengan gambar A. Wakijan. Tetapi, Kanaya, terutama, juga menyukai si kucing Hamish dalam cerita The Lighthouse Keeper’s Cat gubahan Ronda dan David Armitage, Genderang Hutan karya Graeme Base dan Mona the Vampire karya Sonia Holleyman. Kakaknya, Faila, menyukai Mio Anakku karya Astrid Lindgren. Juga cerita tentang masa kecil saya dan almarhum kakeknya, Baba Haji.

Membacakan buku cerita untuk anak-anak adalah kegiatan intelektual yang menyenangkan. Yang senang bukan hanya anak-anak, tetapi juga kita. Saya jadi paham, sedikit banyak, bagaimana cerita anak yang bagus dan bagaimana pula para pengarang menuliskannya. Adapun anak-anak mendapatkan pertualangan imajinatif yang kaya dan tanpa batas dari khazanah itu.

Demikian, Saudara Anu. Salam untuk anakmu.

Zen Hae
(zenhae@lontar.org)