Bung ND,

Jika kita membicarakan puisi Indonesia modern, maka sebenarnya kita berbicara tentang budaya tulisan yang baru—elitis, tentu saja. Umurnya belum seratus tahun. Jika dibentangkan sebuah garis masa padanya, kita belum bisa melihat garis yang berwarna-warni. Warna modern, dengan sejumlah variasi di dalamnya, tentu saja yang paling dominan.

Jika kita percaya tradisi penulisan puisi baru di Hindia Belanda bermula dari masa Muhammad Yamin, semasa dengan kemunculan roman Sitti Nurbaja gubahan Marah Roesli, maka itu artinya kita membicarakan hanya kiprah anak-anak Sumatra. Di luar mereka, sebenarnya, ada juga pengarang Cina Peranakan, nasionalis kiri dan Indo-Belanda, yang lebih dulu menulis “sair-sairan”.

Mereka jarang direken sebagai pemula.

Tapi, baiklah, soal periodisasi itu kita singkirkan sementara. Aku ingin menyoal lagi apa yang disebut sebagai “puisi baru”. Yakni, puisi yang ditulis dalam bahasa Melayu dan mengambil bentuk yang umum saat itu: soneta. Sebab di masa itu, atau sebelumnya, orang-orang masih menulis apa yang umum disebut “syair”, yakni, puisi nararif yang digunakan untuk segala keperluan: ungkapan cinta, iklan obat dan lelang, hingga reportase pembunuhan dan kedatangan seorang raja.

Sutan Takdir Alisjahbana, sosok yang menjulang satu generasi setelah Yamin, terutama, tidak menyebut apa yang berkembang saat itu sebagai “puisi modern”, tetapi “puisi baru”. Sebuah lompatan yang jauh dan tiba-tiba. Dari syair ke puisi baru—dengan semangat Romantik yang memberat, tentu saja. Di Amerika Utara, sebelum Modernisme ada Victorianisme.

Kata Hasif Amini, puisi Indonesia tidak punya masa silam.

Tentu saja, ini gegar yang sangat serius. Bagaimana ceritanya orang-orang muda berpendidikan Belanda masa itu, yang mengenal sastra Belanda dan Eropa melulu dari buku-buku pelajaran sastra berbahasa Belanda, tiba-tiba menemukan nenek moyang mereka: generasi De Tachtigers (Angkatan 80) di Belanda. Mereka tidak mengambil Dadaisme dan Surealisme yang berkembang saat itu sebagai model penciptaan.

Sementara di benua lain: Alejo Carpentier mengambil Surealisme sebagai modal penulisan novel baru. Dan kita tahu bagaimana pengaruhnya terhadap apa yang secara berulang-ulang kita sebut fiksi “realisme magis”.

Kolonialisme akhirnya membuat orientasi budaya para penulis Hindia Belanda hanya tertuju kepada Belanda. Baru pada masa Chairil Anwar, orientasinya bergeser ke Amerika Serikat dan belahan Eropa lainnya. Akibatnya jelas: puisi Indonesia menjadi lebih karya. Ia menjangkau modernisme yang sebenarnya.

Tentu kau tidak keberatan jika kita pasang Chairil sebagai pemula modernisme puisi Indonesia. Dengan begitu, apa-apa yang telanjur dianggap sebagai pemula modernisme, baiklah kita sebut sebagai “perantara” atau penyambung antara yang tradisional dengan yang modern. Takdir dan kawan-kawan kukira akan bahagia di alam sana, sebab dia sendiri sejatinya hanya menyebut “puisi baru”, bukan “puisi modern”.

Modernisme milik Chairil Anwar sepenuhnya.

Zen Hae (zenhae@lontar.org)