Bung,

Saya tengah membaca puisi-puisi Tomas Tranströmer. Buku puisinya New Collected Poems terbitan Bloodax Books (2017), terjemahan Robin Fulton, baru saya bisa beli beberapa bulan lalu. Baru separuh jalan. Mungkin pembacaan ini tampak terlambat, tetapi, tidak apalah, daripada tidak sama sekali.

Bagi saya, ciri terpenting sajak-sajak Tranströmer adalah sajak suasana. Jenis sajak ini banyak juga dikerjakan dalam puisi Indonesia modern. Jika kita membaca sajak-sajak suasana yang terbaik dalam bahasa Indonesia, maka kita akan bertemu, terutama, dengan sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Sajak-sajak Sapardi mengandung suasana yang kuat pada sajak-sajak bergenre “kartu pos”. Sementara pada Goenawan kita menemukan bukan hanya bangun suasana yang kuat, tetapi juga musikalitas yang kemudian banyak ditiru oleh para penyair yang lebih kemudian. Dan yang tidak kalah penting: percikan permenungan.

Ciri terpenting dari sajak suasana di mana pun adalah undurnya subjek lirik dari pengujaran puisi. Penyair atau alter ego-nya memberi ruang dan keleluasaan kepada aneka citraan dan lukisan suasana yang hendak dibangun. Pernyataan maksud si penyair—soal yang juga penting dalam isi pantun—menjadi tidak terlalu penting.

Bagi saya, Tranströmer adalah pemotret suasana yang lihai. Dia bukan hanya mampu menghasilkan aneka citraaan dari pemandangan alam sekitarnya, tetapi juga menjadikan semua itu sebagai alusi terhadap dunia yang lebih luas, atau pemikiran yang lebih mendalam. Katakanlah, filsafat yang menyeruak dari alam.

Dalam sajaknya “Solitary Swedish House” (sajak pertama dari kumpulan Hemligheter på Vägen / Secrets on the Way, 1958), kita bukan hanya mendapatkan lukisan suasana perdesaan yang khas Eropa Utara, tetapi juga semacam pernyataan iman yang tajam di akhirnya: “Let them feel without alarm / the camouflaged wings / and God’s energy / coiled up in the dark.”

Menampilkan sesuatu yang subtil dan metafisis—bahkan filosofis—dari hamparan alam benda, mungkin itulah tantangan sajak suasana. Saya merindukan itu pada sajak-sajak suasana karya penyair Indonesia mutakhir. Jadi, saya bukan hanya mendapatkan pameran citraan dan permainan bunyi yang kadang kelewat programatik, tetapi juga sesuatu yang lebih berharga dari semua itu.

Soal itu tidak mudah, tetapi mungkin.

Zen Hae (zenhae@lontar.org)