Jakarta adalah kota yang sibuk, tentu saja. Ketika pandemi Corona mulai menjadi masalah nasional sejak pertengahan Maret tahun ini, warga Jakarta dibuat ketakutan. Ada virus pembunuh: tidak kelihatan, tetapi serangannya sungguh mematikan. Tapi, pemerintah Indonesia tidak mau menerapkan penggerendelan (lockdown). Ekonomi bisa keok. Setelah terganjal izin dari Pusat, pemerintah DKI Jakarta akhirnya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Warga Jakarta selanjutnya hidup di tengah penjarakan sosial. Hidup mereka seakan lumpuh. Beberapa gang dan kompleks perumahan menutup pintu gerbang mereka. Orang-orang berduit memborong makanan untuk persediaan. Kantor-kantor tutup. Sejumlah kerani kehilangan pekerjaan. Jalan-jalan sepi. Orang-orang mulai memakai masker dan gemar mencuci tangan dengan sabun.

Tetapi, ada orang-orang yang mulai berkebun di belakang rumah. Atau, berdagang kecil-kecilan. Adik saya menjual vas kayu, yang lain mengusahakan orak-arik kentang. Ada pembelinya. Di kalangan ibu-ibu wali murid TK anak saya, perdagangan kecil-kecilan sudah lebih dulu muncul. Dengan serta-merta perdagangan daring, dalam skala kecil dan besar, meningkat. Takut keluar rumah, orang berbelanja daring. Kini, apa saja bisa dibeli lewat toko daring. Pengemudi ojek daring jadi tulang punggungnya.

Di dunia maya dunia kesenian juga menggeliat. Pada mulanya rasa jenuh dan tertekan oleh pembatasan sosial, tetapi kemudian adalah kreativitas. Ketika toko-toko buku ditutup, akses terhadap buku-buku digital (ebook) meluas. Beberapa orang/komunitas membagikan ebook gratis—entah dari membeli atau bajakan. Juga film-film yang bisa ditonton di kanal YouTube. Dari luar, orang bisa menonton pameran seni rupa secara daring.

Dunia makin tanpa batas, justru ketika pandemi mengganas.

Diskusi daring, terutama di kanal Zoom dan Instagram, tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Saya mengikuti hampir semua diskusi daring yang diselenggarakan oleh sejumlah komunitas. Terlebih-lebih bikinan penerbit Teroka Press. Sesungguhnya, kita patut bersyukur karena pembatasan sosial ini. Kreativitas kita jadi meledak, kian banyak ragam-macamnya.

Pandemi memang belum akan berakhir. Kegiatan diskusi daring juga masih jauh dari kata sudah. Beberapa buku sastra terbit melalui penjualan daring. Kata seorang teman, dalam sebulan novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang tebitan Teroka Press terjual 600 eksemplar. Satu omset yang lumayan bagus, yang belum tentu bica dicapai jika novel itu dipajang di rak toko buku konvensional.

Kita cemas oleh kematian yang mendunia, tetapi masih menaruh harapan pada kreativitas terbaik. Kita belum lagi akan menyerah. Hari belum lagi akan malam—meyadap larik puisi Chairil Anwar.

Zen Hae
zenhae@lontar.org